Indahnya Islam
Jumat, 31 Agustus 2012
Rabu, 01 Agustus 2012
Azan Subuh Berkumandang, Tapi Masih Minum
Saat
waktu sahur, lalu azan subuh berkumandang. Apakah saya masih boleh
minum/makan? Atau terhitung sejak azan tersebut, sudah tidak boleh ada
lagi yang masuk ke mulut?
(Rangga Hadimulyo, Jakarta)
Puasa dimulai dari terbit fajar, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu subuh dan berakhir saat terbenam matahari yaitu berbarengan dengan masuknya waktu magrib. Ketentuan ini merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187. Saat azan subuh berkumandang, berarti pada waktu itu juga kita harus menghentikan makan, minum dan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa.
TEMPO.CO/Ilustrasi
Kita dianjurkan untuk sahur walaupun hanya dengan seteguk air. Ini berlaku untuk puasa wajib ataupun sunah. Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah kamu karena sesungguhnya sahur itu berbarokah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebelum azan subuh biasanya kita mengenal istilah imsak.Sebagian besar orang Indonesia masih beranggapan bahwa waktu imsak adalah 10 menit menjelang azan subuh yang ditandai dengan bunyi sirine di beberapa radio atau televisi. Sebenarnya, ini kurang tepat. Imsak artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan (makan, minum, hubungan intim, dll) dari waktu subuh hingga waktu magrib. Jadi, ketika Anda bangun untuk makan sahur tapi sangat dekat dengan waktu azan subuh, dan dari radio atau televisi terdengar sirine atau lagu, tidak perlu khawatir. Anda punya waktu sepuluh menit untuk makan sahur. Manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya.
(Rangga Hadimulyo, Jakarta)
Puasa dimulai dari terbit fajar, yaitu berbarengan dengan masuknya waktu subuh dan berakhir saat terbenam matahari yaitu berbarengan dengan masuknya waktu magrib. Ketentuan ini merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187. Saat azan subuh berkumandang, berarti pada waktu itu juga kita harus menghentikan makan, minum dan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa.
TEMPO.CO/Ilustrasi
Kita dianjurkan untuk sahur walaupun hanya dengan seteguk air. Ini berlaku untuk puasa wajib ataupun sunah. Rasulullah SAW bersabda, “Bersahurlah kamu karena sesungguhnya sahur itu berbarokah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebelum azan subuh biasanya kita mengenal istilah imsak.Sebagian besar orang Indonesia masih beranggapan bahwa waktu imsak adalah 10 menit menjelang azan subuh yang ditandai dengan bunyi sirine di beberapa radio atau televisi. Sebenarnya, ini kurang tepat. Imsak artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan (makan, minum, hubungan intim, dll) dari waktu subuh hingga waktu magrib. Jadi, ketika Anda bangun untuk makan sahur tapi sangat dekat dengan waktu azan subuh, dan dari radio atau televisi terdengar sirine atau lagu, tidak perlu khawatir. Anda punya waktu sepuluh menit untuk makan sahur. Manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya.
Jumat, 27 Juli 2012
Dua Niat, Satu Kali Puasa
Apabila
saya mesti membayar puasa yang batal pada bulan Syawal, bolehkah saya
membayarnya dengan niat puasa sunah Syawal plus niat bayar puasa wajib?
Jadi dua niat, tapi satu kali puasa.
(Alfan, Surabaya)
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadan, lalu melaksanakan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa setahun." (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah). Hadits ini menegaskan bahwa puasa 6 hari pada bulan Syawal itu sunah.
AP Photo/Mukhtar Khan/Ilustrasi
Puasa Syawal bisa dikerjakan secara terpisah-pisah atau bertutrut-turut, yang penting masih pada bulan Syawal.
Sementara puasa qadha hukumnya wajib karena puasa tersebut dilakukan sebagai pengganti untuk puasa yang tidak bisa kita lakukan di bulan Ramadan karena sakit, bepergian atau kalau pada kaum wanita, karena menstruasi (lihat QS Al-Baqarah 2:185).
Jelaslah bahwa puasa Syawal dan qadha itu kedudukan hukumnya berbeda; maka tidak diperbolehkan satu aktivitas puasa dengan dua niat; niat Syawal dan niat bayar qadha.
Hal ini berlaku juga dalam pelaksanaan salat. Tidak diperbolehkan suatu aktivitas salat dengan dua niat. Misalnya salat 2 rakaat pada waktu subuh dengan niat salat rawatib dan niat salat subuh.
Rumus di atas berlaku untuk ibadah-ibadah yang dikategorikan mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dalam Alquran dan sunah, kita tidak boleh menambahi atau menguranginya, alias harus apa adanya seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW (lihat QS. Al-Ahzaab 33:21). Yang masuk dalam kategori ibadah ini adalah salat, puasa, haji, dan lainnya.
Sementara untuk ibadah muamalah, yaitu ibadah yang teknik pelaksannya tidak diatur secara detail, seperti mencari ilmu, mencari nafkah, dan lainnya, diperbolehkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan niat lebih dari satu. Misalnya datang ke majelis taklim dengan dua niat yaitu thalabul (mencari) ilmu dan thalabul jodoh. Hal ini diperbolehkan karena bersifat ibadah muamalah (kemasyarakatan).
Anda punya pertanyaan soal Islam? Tanyakan langsung pada Aam Amiruddin di form pada halaman ini.
(Alfan, Surabaya)
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadan, lalu melaksanakan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka pahalanya seperti puasa setahun." (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah). Hadits ini menegaskan bahwa puasa 6 hari pada bulan Syawal itu sunah.
AP Photo/Mukhtar Khan/Ilustrasi
Puasa Syawal bisa dikerjakan secara terpisah-pisah atau bertutrut-turut, yang penting masih pada bulan Syawal.
Sementara puasa qadha hukumnya wajib karena puasa tersebut dilakukan sebagai pengganti untuk puasa yang tidak bisa kita lakukan di bulan Ramadan karena sakit, bepergian atau kalau pada kaum wanita, karena menstruasi (lihat QS Al-Baqarah 2:185).
Jelaslah bahwa puasa Syawal dan qadha itu kedudukan hukumnya berbeda; maka tidak diperbolehkan satu aktivitas puasa dengan dua niat; niat Syawal dan niat bayar qadha.
Hal ini berlaku juga dalam pelaksanaan salat. Tidak diperbolehkan suatu aktivitas salat dengan dua niat. Misalnya salat 2 rakaat pada waktu subuh dengan niat salat rawatib dan niat salat subuh.
Rumus di atas berlaku untuk ibadah-ibadah yang dikategorikan mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dalam Alquran dan sunah, kita tidak boleh menambahi atau menguranginya, alias harus apa adanya seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW (lihat QS. Al-Ahzaab 33:21). Yang masuk dalam kategori ibadah ini adalah salat, puasa, haji, dan lainnya.
Sementara untuk ibadah muamalah, yaitu ibadah yang teknik pelaksannya tidak diatur secara detail, seperti mencari ilmu, mencari nafkah, dan lainnya, diperbolehkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan niat lebih dari satu. Misalnya datang ke majelis taklim dengan dua niat yaitu thalabul (mencari) ilmu dan thalabul jodoh. Hal ini diperbolehkan karena bersifat ibadah muamalah (kemasyarakatan).
Anda punya pertanyaan soal Islam? Tanyakan langsung pada Aam Amiruddin di form pada halaman ini.
Lebaran Berbeda, Masihkah Kita Berpuasa?
Kalau lebaran berbeda, masihkah kita harus puasa di saat orang lain sudah lebaran?
(Rahanny, Jakarta)
Pertanyaan ini memang patut dikemukakan terlebih beberapa tahun ini di Indonesia sering terjadi perbedaan penanggalan 1 Syawal antara pemerintah dengan beberapa ormas Islam.
Siapa orang yang tidak mendambakan kesamaan dan kekompakan dalam menjalankan ibadah shaum, khususnya dalam memulai shaum tersebut atau saat Idul Fitri tiba. Tetapi telah sama-sama kita sadari bahwa ternyata dalam penentuan awal Ramadan atau Idul Fitri sampai saat ini masih terjadi perbedaan. Semestinya, kita mafhum jika perbedaan merupakan sunnatullah.
Oleh karenanya, janganlah sampai perbedaan tersebut membawa bencana. Justru jadikan semua itu aksesori yang menghiasi kehidupan bersama dalam bingkai ukhuwah Islamiah (persaudaraan dalam Islam). Tinggal bagaimana kita mewujudkannya dalam kedewasaan berpikir dan bertindak.
Allah SWT mengingatkan di dalam Alquran, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. Al-Israa:36)
Dalam menghadapi perbedaan pendapat, langkah pertama yang harus ditempuh berdasarkan ayat tersebut adalah memperkaya diri dengan pengetahuan, khususnya seputar penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal sesuai kemampuan. Setelah itu, tanamkan kedewasaan untuk menyikapi perbedaan, sejauh perbedaan itu sama-sama memiliki dasar yang kuat. Terakhir, yakinilah yang menjadi pandangan kita dan jangan ada sedikit pun keraguan atas keputusan yang telah diambil.
Kalau kita ragu apakah sudah masuk tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) atau belum, maka sebaiknya kita membatalkan puasa karena diharamkan untuk berpuasa pada hari yang meragukan.
Ammar bin Yasir R.A. berkata, “Siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka sungguh telah durhaka” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai).
Kalau orang lain sudah berlebaran sementara kita yakin bahwa hari itu belum waktunya lebaran, kita yakin bahwa lebaran itu besok sesuai penanggalan yang kita yakini benar, maka kita harus meneruskan puasa karena kita tidak termasuk orang yang ragu.
Tetapi kalau ragu, maka sebaiknya kita membatalkan puasa seperti dijelaskan dalam hadis di atas.
Kesimpulannya, kita harus tetap berpuasa kalau kita yakin belum lebaran walaupun orang lain sudah berlebaran.
(Rahanny, Jakarta)
Pertanyaan ini memang patut dikemukakan terlebih beberapa tahun ini di Indonesia sering terjadi perbedaan penanggalan 1 Syawal antara pemerintah dengan beberapa ormas Islam.
Siapa orang yang tidak mendambakan kesamaan dan kekompakan dalam menjalankan ibadah shaum, khususnya dalam memulai shaum tersebut atau saat Idul Fitri tiba. Tetapi telah sama-sama kita sadari bahwa ternyata dalam penentuan awal Ramadan atau Idul Fitri sampai saat ini masih terjadi perbedaan. Semestinya, kita mafhum jika perbedaan merupakan sunnatullah.
Oleh karenanya, janganlah sampai perbedaan tersebut membawa bencana. Justru jadikan semua itu aksesori yang menghiasi kehidupan bersama dalam bingkai ukhuwah Islamiah (persaudaraan dalam Islam). Tinggal bagaimana kita mewujudkannya dalam kedewasaan berpikir dan bertindak.
Allah SWT mengingatkan di dalam Alquran, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.S. Al-Israa:36)
Dalam menghadapi perbedaan pendapat, langkah pertama yang harus ditempuh berdasarkan ayat tersebut adalah memperkaya diri dengan pengetahuan, khususnya seputar penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal sesuai kemampuan. Setelah itu, tanamkan kedewasaan untuk menyikapi perbedaan, sejauh perbedaan itu sama-sama memiliki dasar yang kuat. Terakhir, yakinilah yang menjadi pandangan kita dan jangan ada sedikit pun keraguan atas keputusan yang telah diambil.
Kalau kita ragu apakah sudah masuk tanggal 1 Syawal (Idul Fitri) atau belum, maka sebaiknya kita membatalkan puasa karena diharamkan untuk berpuasa pada hari yang meragukan.
Ammar bin Yasir R.A. berkata, “Siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka sungguh telah durhaka” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai).
Kalau orang lain sudah berlebaran sementara kita yakin bahwa hari itu belum waktunya lebaran, kita yakin bahwa lebaran itu besok sesuai penanggalan yang kita yakini benar, maka kita harus meneruskan puasa karena kita tidak termasuk orang yang ragu.
Tetapi kalau ragu, maka sebaiknya kita membatalkan puasa seperti dijelaskan dalam hadis di atas.
Kesimpulannya, kita harus tetap berpuasa kalau kita yakin belum lebaran walaupun orang lain sudah berlebaran.
Mimpi Basah Setelah Sahur
(Bamby, Semarang)
Apabila kita sedang berpuasa, melakukan sesuatu yang membatalkan puasa tanpa kesadaran atau tanpa kesesengajaan, misalnya makan atau minum, maka puasanya tidak batal karena dilakukan tanpa kesengajaan atau tanpa kesadaran.
Mimpi basah terjadi tanpa niat dan tanpa kesengajaan orang yang mengalaminya. Mimpi basah terjadi karena proses biologis ketika kapasitas sperma sudah melewati ambang batas, maka sperma itu keluar lewat mimpi, yang kemudian disebut mimpi basah.
Jupiterimages/Ilustrasi
Karena mimpi basah itu terjadi di luar kesengajaan atau kesadaran kita, maka hukumnya sama seperti kita makan atau minum tanpa sengaja. Oleh karena itu, puasanya tetap sah dan harus dilanjutkan hingga magrib.
Ada beberapa aktivitas yang mungkin oleh sebagian orang dinilai dapat membatalkan puasa, termasuk mimpi basah. Padahal jika merujuk pada keterangan-keterangan yang sahih dari Nabi Muhammad SAW ternyata hal tersebut tidaklah membatalkan puasa. Apa sajakah itu?
Gosok gigi
Islam memerintahkan kita menjaga kebersihan, salah satunya dengan menjaga kebersihan gigi. Karena itu menggosok gigi tetap dianjurkan walau sedang berpuasa. Hal ini mengacu ke hadis, Amir bin Rabi’ah R.A. mengatakan, “Aku melihat Rasulullah SAW menggosok gigi padahal beliau sedang puasa” (H.R. Ahmad dan Bukhari).
Muntah & mimpi basah
Orang yang muntadan mimpi basah puasanya tidak batal karena itu di luar kemampuan dirinya. Sebagaimana hadits, “Tidak batal orang yangmuntah, yangmimpi hubungan seks, dan berbekam (diambil darah).” (H.R. Abu Daud).
Mencium istri
Istri Rasulullah SAW. Ummu Salamah r.a. mengatakan, “Nabi Muhammad SAW menciumku padahal beliau sedang puasa" (H.R. Tirmidzi).
Diriwayatkan dari Aisyah R.A., “Nabi Muhammad SAW memeluk dan mencium (istrinya) ketika sedang berpuasa, dan beliau lebih mampu menahan diri dari siapa pun di antara kalian” (H.R. Bukhari).
Diambil darah
Diambil darah saat puasa untuk keperluan laboratorium atau sebagai donor darah tidak membatalkan puasa kecuali jika dengan donor tubuh menjadi lemah (drop), diperbolehkan untuk berbuka. Hal ini mengacu pada hadis, “Nabi Muhammad SAW berbekam (diambil darah) ketika beliau puasa” (H.R. Bukhari).
Mandi siang hari
Mandi di siang hari tidak membatalkan puasa sebagaimana keterangan seorang sahabat berikut, “Aku melihat Rasulullah SAW menuangkan air di kepalanya ketika puasa karena cuaca panas” (H.R. Ahmad).
Berkumur-kumur
Umar R.A. berkata, "Suatu hari aku merasa gembira kemudian aku mencium [istriku] padahal aku sedang puasa. Lalu aku mendatangi Nabi Muhammad SAW kataku, 'Hari ini saya melakukan kesalahan besar, saya mencium istri padahal sedang puasa,' Rasulullah SAW bersabda, 'Apa pendapatmu jika kamu berkumur dengan air, padahal engkau puasa?' Aku menjawab,'Tidak apa-apa,' Nabi bersabda, 'Lalu mengapa?'" (H.R. Ahmad dan Abu Daud)
Kamis, 26 Juli 2012
Mengatasi Masalah Kesehatan di Bulan Ramadhan
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan ramadhan dan biasanya Pada hari-hari awal berpuasa, tubuh biasanya ‘kaget’ akan pola makan yang baru. Hal itu pun mempengaruhi kondisi kesehatan yang membuat kita tidak nyaman. Seperti yang dilansir dari theismaili.org (04/07), ada beberapa jenis masalah kesehatan yang biasa dialami ketika berpuasa dan cara mengatasinya. Simak penjelasannya berikut ini selengkapnya Masalah Kesehatan Yang Sering Timbul Saat Berpuasa
Mual
Masalah mual biasanya dikarenakan terlalu banyak makan, kurang minum, dan kurang asupan serat. Untuk menghindari rasa mual, perbanyak konsumsi sereal gandum yang kaya serat, sayuran, dan air putih selama berpuasa.
Sakit kepala
Sakit kepala saat puasa bisa disebabkan oleh konsumsi kafein berlebih, kurang tidur, dehidrasi, dan tentu saja, rasa lapar! Menghindari rokok dan kafein jauh-jauh hari sebelum Ramadan tiba akan menghindarkan Anda dari sakit kepala. Daripada kafein, lebih baik minum teh, jus, atau air putih. Jangan lupa untuk tidur cukup juga!
Masalah pencernaan
Orang-orang yang berpuasa cenderung ‘balas dendam’ ketika berbuka karena di siang hari mereka merasa sangat kelaparan. Makan berlebihan itu pun akhirnya menyebabkan masalah pencernaan yang sangat tidak nyaman. Cara mengatasinya adalah dengan makan secukupnya dan minum air putih sebanyak-banyaknya.
Kadar gula dalam darah
Jarak makan yang terlalu jauh akan menurunkan kadar gula dalam darah. Kemudian gula itu kembali naik saat Anda menikmati makanan manis ketika berbuka. Naik turunnya kadar gula dalam darah membuat tubuh mudah lelah, pusing, dan kurang konsentrasi. Solusi untuk masalah ini salah satunya adalah mengurangi makanan manis dan menggantinya dengan makanan berprotein tinggi. Dengan demikian, kadar gula dalam darah bisa tetap stabil dan tubuh tetap mendapat sumber energi dari protein.
Ingat, berbuka puasa adalah jadwal makan yang harus dinikmati secara wajar, bukan pesta yang dihabiskan dengan makan sepuasnya. Apabila masalah kesehatan tersebut di atas tetap berlanjut dan semakin parah, segera hubungi dokter terdekat. Menikmati Ramadan dalam keadaan sehat tentu jauh lebih menyenangkan daripada terganggu dengan masalah kesehatan yang ad
Tentang Fidyah & Kaffarah
Sering kita
mendengar tentang fidyah dan kaffarah,
apakah yang di maksud dengan keduanya? Baiklah pada posting kalini,saya akan
mencoba menuliskanya, karena sebentar lagi puasa tahun ini akan berahir tentu
pengetahuan tentang fidyah dan kafarah sangatlah penting.
Fidyah
adalah penebus kesalahan, yaitu kewajiban yang di kenakan kepada beberapa
kelompok orang yang di perbolehkan membatalakan puasa mereka karena suatu sebab
yang khusus.orang-orang yang wajib berfidyah itu tidak di wajibkan mengkodlo
puasanya yang batal.
Firman Allah
yang Artinya:
Dan
orang-orang yang bisa puasa dengan susah payah itu.(bila tidak berpuasa), wajib
bayar fidyah (yaitu member makan seorang anak miskin).( Q.s Albaqarah 184)
Lalu apakah
bentuk penebus(fidyah) tersesebut? Yaitu memberi makan seorang miskin tiap hari
bagi yang tidak melaksanakan puasa, kalu seumpama seseorang tidak berpuasa 7
hari maka ia wajib member makan seorang fakir miskin selama tujuh hari, atau
bisa memberi tujuh orang miskin makan dalam sehari.
Lalu
berapakah ukuran makanana yang harus di berikan? Dalam AlQuran ataupun hadis
tidak di tetapkan sifat volume fidyah tersebut, karnanya terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang batas banyaknya satu kali fidyah.Tetapi
secara umum jumlah satu fidyah adalah memberi makan sehari pada si miskin
sesuai kebiasaan makan kita, misalkan,kalau kitadalam keseharian biasa makan 3
kali sehari maka kita harus memberi makan tiga kali juga dengan jenis makanan
sesuai keseharian kita, atau bisa juga kita uangkan, kalu biasanya kita sekali
makan senilai Rp. 6000-, maka kita beri satu fidyah Rp. 18000,-.
Setelahmengetahui
apa yang di maksud dengan fidyah kita tentu perlu tahu siapa saja atau orang
yang bagaimanakah yang yang wajib fidyah. Orang yang wajid fidyah adalah :
1.Perempuan
hamil yang apabila berpuasa di hawatirkan mengganggu kesehatan dirinya atau
bayi yang di kandungnya.
2.Perempuan
yang sedang menyusui yang hawatir kesehatan dirinya atau anaknya terganggu
apabila tetap berpuasa.
3.orangtua
yang sudah tidak kuat lagi berpuasa.
4..Orang
yang apabila puasa akan menyebabkan sakit.
5.Orang
sakit yang tidak dapat puasa dan tidak ada harapan sembuh.
6.Orang yang
yang tetap harus bekerja pada pekerjaan yang berat yang tidak kuat di bawa
puasa.
Jumlah enam
kelompok tersebut berdasarkan hadist yang memberi penjelasan tentang Alquran
surat Albaqarah ayat 184.
Demikianlah
bahasan tentang fidyah, semoga bermanfaat. Postingan berikutnya insyaallah akan
saya tuliskan tentang Kaffarah.Mohon
maaf apabila ada kekeliruan.
Pengetahuan
tentang fidyah tersebut saya dapatkan dari pengajian rutin saya setiap hari
Minggu pagi dengan Ustad Kasman Diputra Mariasan.
Tentang Kaffarah
Setelah tulisan sebelumnya tentang
fidyah, kali ini akan saya sambung dengan penjelasan tentang kaffarah.
Kaffarah adalah artinya penutup satu kesalahan atau dosa,
jadi jelasnya kaffarah adalah suatu denda yang dikenakan kepada orang-orang
yang membatalkan puasanya karena karena melakukan hububgan suami istri di siang
hari pada saat puasa ramadhan.
Setelah kita mengetahui maksud dari kaffarah kita juga
perlu tahu orang-orang yang bagaimanakah yang di wajibkan bayar kaffarah, untuk
itu mari kita simak hadis di bawah ini:
Artinya:
Dari Abi Huraerah r.a ia berkata:Ketika kami sedang duduk
bersama-sama Rasulallah Saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki menemui Nabi
saw. Lalu berkata: Saya telah binasa, ya Rasulallah! Sabdanya Apa yang telah
membinasakanmu? Jawabnya: saya telah telah bersetubuh dengan istri saya dalam
Ramadhan. Sabdanya: Adakah padamu kemampuan buat memerdekakan hamba? Jawabnya:
tidak ada. Sabdanya: Bisakah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?
Jawabnya: Tidak bisa. Sabdanya: bisakah engkau member makan enam puluh orang
miskin? Jawabnya: Tidakbisa. Kemudian ia duduk lantas ada orang bawa kepada
nabi satu keranjang kurma; Sabdanya: Bersedekahlah kamu dengan ini. Jawabnya:
apakah kepada orang yang lebih fakair dari kami? Sesungguhnya di madinah ini
tidak ada ahli rumah yang lebih fakair dari kami. Lalu Rasulallah tertawa hingga
kelihatan gerahamnya, dan bersabda: pergilah dan berilah makanan ini kepada
ahlimu(keluargamu) (HSR Bukhari dan Muslim).
Nahdari hadist tersebut kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa
1. Suamiyang berhubungan suami istri di dalam keadaan
puasa, maka dia kena kaffarah, ialah:
a. Harus memerdekakan seorang hamba sahaya,
b. Bila tidak mampu maka ia harus berpuasa selam 2 bulan
berturut-turut, atu
c. Memberi makan terhadap 60 fakir miskin
Kalautidak bisa ia kerjakan salah satu dari tiga tersebut,
maka menjadi utang atasnya, dan wajib ia tunaikan di saat ada kelapangan,tetapi
jika sudah di usahakan dengan maksimal dan ternyata memang semuanya memang
semuanya tidak mampu ia lakukan, sampai member makan 60 orang fakir miskinpun
ia tidak mampu, karena iapun termasuk orang miskin seperti pada hadist diatas,
maka bisa datang ke BAZIS untuk meminta bantuan sebagai mustahik zakat agar ia
bisa melakukan kewajibanya tersebut.
2. Sedangkan bagi istri atau perempuan yang di campuri
oleh suaminya tadi bagi dia tidak di wajibkan bayar kafarrah.
Demikanlah tentang kaffarah, semoga bermanfaat.
Hitungan Fidyah |
Ditulis oleh Dewan Asatidz |
Tanya: Assalamualaikum Wr.Wb. Pak Ustadz, saya ingin bertanya hukumnya fidyah dan bagaimana penghitungannya. Apakah 1 kali makan atau 1 hari, apa makan plus lauk pauknya dan kalau diuangkan berapa? Wasalamualaikum Wr.Wb. Jawab: Mayoritas Ulama bersepakat bahwa hukum fidyah adalah wajib, berdasar ayat "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (puasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin." (QS. Al-Baqarah:184) Orang yang meninggalkan puasa adakalanya yang harus membayar fidyah dan mengqadha' puasa, adakalanya yang diharuskan membayar fidyah saja. Yang masuk kategori pertama (membayar fidyah dan qadha'): 1. Perempuan yang hamil dan menyusui apabila menghawatirkan kesehatan anaknya. (Jika ia menghawatirkan kesehatan dirinya bukan anaknya, sebaliknya, ia harus mengqadha' saja tanpa harus membayar fidyah.) 2. Orang yang terlambat mengqadha' puasa sampai datang bulan Ramadhan berikutnya dengan tanpa udzur (haid, nifas, sakit, gila, bepergian yang berkepanjangan, dll.). Dan yang masuk dalam kategori kedua (membayar fidyah saja, tanpa qadha') : 1. Seseorang yang kondisi fisiknya memang tidak memungkinkan lagi berpuasa, seperti kakek-nenek yang sudah tua renta. 2. Orang sakit yang tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Adapun mengenai kadar atau takaran fidyah itu adalah satu mud (makanan pokok setempat) untuk satu hari. Jadi jika seseorang meninggalkan 5 hari, ia mempunyai tanggungan 5 mud. Satu mud sama dengan 675 gram, atau yang mencukupi dua kali makan satu orang (sahur dan buka). Boleh juga dibayarkan berupa uang, dihargai sesuai harga pasar setempat. Karena wajarnya makan itu lengkap dengan lauk-pauk, ya harus sekalian dengan lauk-pauk. Sewajarnya saja. |
Langganan:
Postingan (Atom)